PENGUATAN LITERASI DI TENGAH KEMELUT COVID (Refleksi Setahun Pandemi Covid-19)

0

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah berlangsung hampir setahun. Semua mempunyai peran yang begitu penting dalam proses pembelajaran daring ini. Guru sebagai fasilitator, siswa sebagai subjek pembelajar, dan orang tua sebagai motivator dalam mendampingi anaknya belajar secara online.  Meski semua berjalan kurang optimal, tapi yakinlah jika semua ini dijalani dengan tulus dan tidak dipaksa maka akan menghasilkan luaran yang baik. Kita pun berharap peserta didik  secara sadar diri mengikuti proses pembelajaran sehingga  capaian pembelajaran dapat terwujud.

Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia telah berlangsung sejak pertengahan Maret 2020 hingga saat ini. Menurut laporan UNESCO (2020), sebagai akibat dari wabah covid-19, sebanyak 1.543.446.152 siswa atau 89% dari total siswa di 188 negara, termasuk Indonesia, terpaksa belajar dari rumah. Data terakhir dari Pandemic Talks juga menunjukkan penyebaran Covid-19 belum mereda. Jumlah kasus klaster sekolah dan pesantren yang terdampak mencapai 72.677 kasus. Dengan demikian, satuan pendidikan tidak punya pilihan kecuali menunda pembelajaran tatap muka dan tetap belajar dari rumah (Amirrachman, 2021).

Sejak WHO menetapkan pandemi tersebut, sebagian besar negara termasuk Indonesia menerapkan pembelajaran secara daring (online) dan pemberlakuan kurikulum darudat Covid-19. Tentunya hal ini menyebabkan terganggunya kegiatan belajar mengajar dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Pemberlakukan sistem belajar daring ini berpedoman pada aturan pemerintah karena ada kekhawatiran jika dilakukan secara offline (tatap muka di ruang kelas) akan menjadi sumber penyebaran virus Covid-19.

Tentunya  banyak sekali kesulitan yang dialami oleh para peserta didik di seantero tanah air. Jangankan siswanya, gurunya pun juga dibuat pusing tujuh keliling. Hal ini tak terkecuali juga masing-masing orang tuanya. Perubahan yang tiba-tiba terjadi, harus daring, sempat membuat bingung bagaimana memulainya?

Belajar Daring, Bisa Apa?

Masih ada kegugupan dan kegagapan dalam semua aspek, terlebih munculnya pembelajaran dengan model jarak jauh yang harus berbasis teknologi. Dari yang semula gaptek jadi harus belajar.  Dari yang semula membaca buku secara fisik jadi harus melalui smartphone. Mau tidak mau, semuanya harus lebih dekat dengan kemajuan teknologi dan memaknai Revolusi Industri 4.0 sebagai sebuah kebutuhan utama.

Jika dicermati perkembangannya masa-masa awal belajar daring, banyak guru dan orang tua merasa kebingungan dan kelabakan. Belum lagi, bagi guru harus trial error mencari model pembelajaran yang tepat dan cocok untuk siswanya, menyediakan kuota internet, sampai harus membuat materi online. Jadi, belum berpikir bagaimana siswa bisa membaca buku karena menemukan sistemnya saja membutuhkan waktu yang lumayan lama. Pikiran terpecah antara penguasaan materi dan penguasaan aplikasi yang digunakan untuk pembelajaran daring di awal pandemic Covid -19 merebak.

Akhirnya muncul Whatspp Grup (WAG) yang kenyataannya yang belajar, yang membaca, mengerjakan tugas, justru orang tuanya. Akhirnya seiring waktu berjalan model pembelajaran daring menggunakan platform zoom, google meet, webex, microsoft teams, dan yang lainnya masih dianggap sesuatu yang asing bagi sebagian guru dan orang tua, khususnya di daerah yang jauh dari paparan teknologi.

Jika saya mengidentifikasi masalah selama pembelajaran daring ada banyak. Mulai keterbatasan orang tua dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dan pengasuhan. Selanjutnya kebingungan orang tua menciptakan iklim Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yaitu keterbatasan fasilitas online, dan menurunnya daya dukung.

Sementara untuk guru, ada juga keterbatasan kemampuan guru dalam memfasilitasi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Keterbatasan kompetensi guru dalam mengelola pembelajaran daring, keterbatasan dalam mengakses internet dan juga seperangkat sumber daya dukungnya.

Kepanikan kerap mendera guru. Berbagai jurus jitu pun diupayakan agar peserta didik bisa belajar. Pilihan media dan model berbasis digital terus digulirkan. Namun evaluasi pembelajaran menunjukkan variabel pengaruh yang signifikan. Peserta didik panik, bahkan orang tua pun lebih panik.

Bukti empiris, kebanyakan guru hanya memberikan lembar kerja, bahkan penugasan yang monoton. Terang saja ini tidak maksimal. Ruang kebebasan anak bermain pun terusik. Kelihatan kontradiktif dengan dunia anak yang biasanya lepas bebas bermain, menggunakan bahan yang ada, berkomunikasi interaktif, dan dengan dokumentasi. Kini harus berkutat dengan tugas-tugas yang hanya diperoleh informasi petunjuk tanpa ada intruksi tatap muka langsung dari guru.

Pembelajaran daring pun mengandalkan Grup Whatsapp (WAG). Aplikasi grup ini bisa digunakan sebagai media yang mungkin lebih mudah, seperti guru bisa memberikan pembelajaran melalui pesan tertulis maupun video. Hal ini misalnya ketika menyapa siswa, menjelaskan materi, menjawab pertanyaan, memberikan tugas individu maupun kelompok, serta memberikan informasi lainnya. Muncul pertanyaan, belajar daring anak bisa apa? Perlu evaluasi yang mendalam dan terukur.

Proses dan hasil pembelajaran daring masih menyeruakkan permasalahan bagi dunia pendidikan. Setelah melalui fase-fase yang sulit, meski Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional RI dan berbagai  lembaga, organisasi guru, NGO, perguruan tinggi banyak melakukan gerakan pelatihan (workshop) kepada guru-guru di seluruh Indonesia untuk menciptakan pembelajaran yang efektif, menarik, bermakna, dan sesuai dengan  proses pembelajaran di masa  Pandemic  Covid-19 ini.

 Literasi Covid-19 di Ambang Jenuh

Pandemi Covid-19 merubah gaya hidup siswa. Kondisi riil bahwa anak tidak ke sekolah, tetapi belajar dari rumah secara online. Hasilnya, berat badan anak juga cepat naik karena akses terhadap makanan lebih mudah dan cepat ketika belajar dari rumah ini. Oleh karena, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis daring  berdampak pada imobilitas akibat aktivitas dengan gawai, frekuensinya jauh lebih banyak daripada anak bergerak, dan berolahraga. Seharian bisa saja menunduk terus ke ponsel. Anak menjadi asyik dengan dunianya sendiri, dan bias jadi kurang peka dengan lingkungan.

Aktivitas yang semula membaca buku pelajaran, LKS, buku tematik, akhirnya menjadi hilang dan tergantikan dengan ponsel. Sisi lainnya  adalah ada siswa yang karena tempat tinggalnya tidak memadai (misalnya: sinyalnya susah, tidak memiliki ponsel) selama belajar dari rumah, dan akhirnya tidak bisa mengikuti proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Belum lagi jika pendapatan keluarga juga ikut turun akibat pandemi, maka berdampak pada gizi anak yang cenderung mengalami penurunan.

Dampaknya tentu tidak sederhana, mulai dari kasus malnutrisi, perilaku dan emosi, sampai yang lebih ekstrim yaitu terjadinya KDRT yang berujung pada kekerasan pada anak. Semenatara, terkait posisi minat baca Indonesia sebelum pandemi Covid-19 saja, sudah sangat sangat ironis. Hasil survei Indeks Pembangunan Manusia tahun 2019, nampak jika minat baca penduduk Indonesia menempati urutan ke-39 dari 42 negara lainnya. Hal ini berarti Indonesia saat ini masih jauh tertinggal jika dibanding dengan negara lainnya.

Membaca belum menjadi kebutuhan primer, layaknya makan dan minum. Saya yakin belum banyak anak yang tahu juga, jika tanggal 12 November adalah Hari Gerakan Nasional Membaca. Jika asumsi saya ini benar, marilah mulai mengenalkan gerakan membaca kepada anak-anak kita. Sekalipun semua online, asyik dengan gawai, tetapi tetap harus berinteraksi dengan anak sehingga dapat menstimulasi dan memunculkan ide anak untuk bertanya serta bereksplorasi lebih jauh.

Anak merupakan anugerah terindah. Kriteria anak sekolah mengacu pada pengertian anak dalam Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Jadi aktivitas membaca dan pembelajaran yang berlangsung dari rumah melalui ponsel perlu didampingi agar terarah dan benar.

Membaca (reading) merupakan kata kerja. Jika siswa membaca, berarti ada aktivitas yang dilakukan oleh siswa tersebut dengan cara melihat, memahami pesan yang tertulis, dan mengambil informasinya. Kalau membahas manfaat membaca, maka ada banyak sekali. Sederhananya adalah dapat menambah wawasan dari yang semula tidak tahu menjadi tahu. Jadi jika kita membaca, tetapi setelah membaca kita tidak tahu atau tidak paham apa yang dibaca, berarti membacanya belum efektif. Dalam bahasa konkretnya berarti sebetulnya belum membaca. Membaca juga bisa dikatakan seperti candu, sekali membaca jadi semakin tahu dan semakin ingin membaca lagi yang lainnya.

Persoalan merosotnya pendidikan karakter anak pernah menjadi tren pembicaraan di kalangan dunia pendidikan. Oleh karena itu, terkait dengan degradasi moral, sehingga ujung-ujungnya adalah penurunan nilai budi pekerti. Kehidupan dalam ranah global telah mengubah perilaku dan cara bagaimana mereka berperilaku.

Jauh dari kebiasaan membaca dan lebih dekat dengan smartphone. Potret yang demikian memang nyata adanya. Jadilah akhirnya budaya membaca alih-alih bukan semakin kental, tetapi justru menjadi jauh dari kebiasaannya. Apalagi jika anak-anak tidak didampingi dalam belajar daring. Bukannya membuka pelajaran sekolah, bukannya mencari literatur online, tetapi yang muncul justru anak kelihatan asyik dengan ponselnya untuk main online game dan asik dengan fitur-fitur yang disajikan.

Literasi Digital 

Persoalan membaca siswa itu pada dasarnya bertumpu pada aspek minat dan budaya. Terkait generasi, budaya membaca wajib digerakkan dan dibangkitkan terutama kepada anak-anak generasi milenial. Hal ini sangat penting mengingat perilaku mereka yang cenderung konsumtif terhadap gawai. Pilar utama dalam membangkitkan minat baca sejatinya dimulai dari lingkungan keluarga. Sekolah menjadi pilot project yang berpengaruh membentuk perilaku membaca bagi siswanya.

Edukasi yang berkelanjutan terkait membaca dan luarannya, dapat memperkaya khazanah keilmuan bagi generasi milenial. Pertanyaan besar adalah setelah membaca terus mau apa? Apakah ada hasilnya? Luaran setelah siswa membaca menjadi aspek krusial yang perlu menjadi bahan evaluasi bersama.

Bicara dampaknya memang lebih abstrak, tetapi praktiknya yang tidak semudah teorinya. Bagi generasi siswa milenial, membaca jauh dimaknai kompleks. Mereka tidak membaca bahan bacaan dalam artian secara fisik seperti sebelum pandemi Covid-19. Namun, yang terjadi justru menjadi paradoks dalam era digital. Anak-anak dari hari ke hari semakin lengket saja dengan yang namanya ponsel. Pagi, bangun tidur, siang, sore, dan malam sebelum tidur, yang dipegang ponsel melulu. Anak jadi abai dan tidak peduli dengan lingkungan keluarga dan sekitarnya.

Padahal peduli dengan memahami lingkungan sekitarnya juga termasuk kategori dari dimensi literasi. Mereka secara psikologis, bisa jadi takut dengan tugas dari gurunya, takut kalau ketinggalan informasi tugas, takut jika terlambat mengumpulkan tugas via daring, dan persoalan lainnya. Sementara di sisi lain, dituntut jelas untuk meningkatkan minat baca dan menggaungkan gerakan membaca. Fenomena yang terjadi ketika pembelajaran daring dalam masa pandemi Covid-19 ini, bukannya semakin tinggi minat bacanya, tetapi justru semakin tidak bisa lepas dengan smartphone.

Belum lagi jika gawainya justru dialihfungsikan dengan permainan youtube, game online, dan hiburan saja. Padahal seharusnya bisa digunakan untuk mencari informasi yang mendukung pembelajaran yang berprinsip berinternet sehat, misalnya download ebook, mengakses soal-soal ujian, menonton youtube edukatif, menyimak tutorial, mengikuti webinar, dan lain sebagainya.

Saya yakin, bahwa dengan melalui pengelolaan stress positif, disiplin mematuhi protokol kesehatan, kemampuan adaptasi dan resiliensi yang baik, maka akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan personal (personal growth) anak. Semoga dengan minat baca siswa yang tinggi, maka dapat tercipta budaya positif sehingga dapat mewujudkan pembelajar cerdas sepanjang hayat. Semoga dengan gerakan membaca siswa, bisa melahirkan siswa cerdas yang berkarakter. Semoga

Refernsi :

Alpha Amirrachman, Alpha. (2021). Pendidikan Karakter di Masa Pandemi.  Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Alumnus PPRA LX Lemhannas. terbit | Opini Rabu 27 Januari 2021, diakses pada https://mediaindonesia.com/opini/380173/pendidikan-karakter-di-masa-pandemi.

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

Biodata Penulis :

Rojaki, M.Pd. 

  • Guru Bahasa Indonesia SMAN 2 Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (2009 s.d. Sekarang)
  • Duta Baca Kabupaten  Musi Banyuasin, Sumatera Selatan  (2018-2022)
  • Duta Damai Interfaith Youth Camp, Ambon, Maluku  (2018)
  • Juara II Nasional Penulisan Artikel Guru yang diselenggarakan oleh PGRI Pusat, Jakarta (2018)
  • Delegasi Kongres Bahasa Indonesia ke XI, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,  Jakarta (2018)
  • Delegasi International Forum on Spice Route, Jakarta (2019)
  • Fasilitator Program Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial    (2019)
  • Best Paper International Conference Disaster Management Bukit Sentul, Bogor (2019)
  • Peserta Forum  Satgas Covid-19  dalam Program Sosialisasi Protokol Kesehatan Nasional,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020)
  • Penulis Artikel di media cetak (Koran, Majalah Guru)
  • Aktif  sebagai peneliti di bidang mitigasi bencana  (Kebencanaan dan Pendidikan)

You might also like More from author

Leave A Reply

Your email address will not be published.